Di dunia Internasional, kawah ijen sudah tidak asing lagi
namanya. Diliput oleh Channel National Geograpic. Dan menjadi bahan pembicaraan
oleh khalayak ramai karena merupakan danau vulkanik air asam terbesar di dunia dan buruh pekerja tambah belerangnya yang heroik. Namun bagi saya, seorang warga Indonesia yang berasal dari
Ujung Utara Barat Indonesia belum pernah melihat langsung keunikan kawah
tersebut kecuali dari gambar di internet maupun liputan Channel asing tersebut.
Terletak diantara pegunungan di ujung timur pulau jawa, Gunung Ijien berdiri
dengan megah. Tampak saudara lelakinya (dalam istilahku), Gunung Marapi yang senantiasa setia berdiri dengan gagah di sampingnya tanpa kenal lelah dan tampak pula Gunung Raung agak jauh
diseberang dengan Puncak sejatinya.
Berawal dari gagalnya pendakian Gunung Semeru gara-gara
kurang administrasi, saya dan teman saya, Boboy Andika Harahap pun banting
setir menyusuri sisi indah ujung timur pulau jawa tersebut (02 Juni 2012). Dari Probolinggo (Jalur menuju ke Bromo-Semeru) kami berangkat menuju kota Bondowoso. Sedikit menyimpang, mengingat Bondowoso saya teringat akan nama
Bandung Bondowoso penyebab adanya bangunan indah bernama Candi Prambanan. Ha ha
ha. Lanjut ke topik pembicaraan.
Sesampai di Bondowoso, ternyata hari sudah sore. Dan kendaraan
menuju Pal Tuding pun sudah tidak ada. Kebetulan kami melihat dua orang bule,
dan saya menduga mereka punya tujuan yang sama dengan kami. Sestelah berbincang
– bincang, kami pun memutuskan untuk menyewa mobil untuk mencapai Pal Tuding. Ternyata
mereka dari Perancis, yang sedang berlibur ke Indonesia. Setelah mengobrol –
ngobrol, ternyata mereka bekerja sebagai manajer musik yang sedang mengadakan tur
dunia.
Tujuan mereka adalah Arabica Homestay, penginapan diantara
hamparan perkebunan kopi Arabica di Sempol, dan kami pun melanjutkan perjalanan
ke Pal Tuding kira-kira 40 menit dari Sempol. Pal Tuding merupakan gerbang
menuju Kawah Ijen. Terdapat warung makan dan penginapan disini, milik warga
keturunan Madura. Kami pun melepas rasa rasa lapar dan memilih beristirahat di
penginapan (sewa kamar Rp 100.000,-) supaya tubuh fit. Sementara bagi yang memilih tidur di tenda atau pendopo,
silahkan saja, asal membawa slepping bag untuk persiapan menantang dinginnya
cuaca di daerah tersebut.
Jam 2 malam kami pun
sudah bersiap – siap mendaki Gunung Ijen. Waktu tempuh adalah 2 s.d. 3 jam
perjalanan. Keberuntungan pun memihak. Langit yang cerah ditemani oleh bulan
purnama penuh mengiringi pendakian kali ini. Sesekali para penambang belerang
berjalan dengan cepat melewati saya yang sudah mulai terengah – engah mulai
kehabihan nafas. “Kuat sekali mereka…!!” diriku membatin. Dengan membawa 50 s.d. 100 kg belerang di pundak mereka untuk sekali angkut. Dan sampailah kami di
pos pengepulan belerang. Pos ini adalah pos untuk pengumpulan belerang
sekaligus sebagai pos pemantauan terhadap Gunung Ijen yang memang sangat aktif.
Jika Gunung Ijen sedang batuk, maka trek pendakian hanya boleh sampai disini
saja.
Perjalanan pun dilanjutkan. Saya merasa sangat tersesat ketika
hendak mendekati puncak. Perjalanan tanpa ujung pikirku. Karena asap gunung
berapi yang menyengat berbau belerang menghampiri disepanjang jalan membuat
diriku berpikir maju mundur. Sudah sampaikah atau masih jauh atau aku lah yang tersesat.
Pandangan hanya berkisar kurang lebih 10 meter. Setelah sekian lama terasa,
akhirnya kami sampai di puncak Gunung Ijen. Disini kami bertemu dengan rombongan anak Banyuwangi yang sedang mendaki juga.
Hal yang membuat penasaran sehingga
mau berangkat pagi – pagi buta ke Puncak Ijen adalah penampakan api biru yang
keluar dari dasar kawah. Tampak dari kejauhan api biru tersebut begitu membara. Satu
hal yang saya sesalkan adalah kelupaan membawa tripod, sehingga saya tidak bisa
mengambil gambar long eksposur. Tapi saya tidak kehilangan akal. Untuk mengabadikan
api biru tersebut, saya pun turun ke dasar kawah layaknya para penambang
belerang ijen yang berita nya sudah mendunia itu. Dengan peralatan slayer dan
senter saya ekstra hati – hati menuruni anak tangga yang sebagiannya sudah
mulai hancur. Salah – salah turun, bisa mampus masuk ke jurang. Asap mengepul
bak raksasa yang siap memangsa santapannya. Saya berdoa kalau saja asap Gunung
Ijen yang berasal dari kawahnya tidak mengarah ke saya. Setelah berjuang
menuruni anak tangga, saya pun sampai di dasar kawah. Hanya berjarak 5 meter
dari api biru tersebut. Ternyata api biru tersebut tingginya mencapai puluhan
meter. Hati saya bergetar melihatnya. Terkadang muncul asap yang begitu pekat. Seandainya
saya tidak membawa slayer dari wol sebagai alat bantu penyaring udara
pernapasan, maka saya bisa mati lemas disitu. Sungguh mengerikan sekaligus
mendebarkan. Ketika mendapatkan momen yang bagus, saya pun mengambil gambar api
biru tersebut. di dasar kawah saya bertemu dengan bule dari Belanda yang
bernama Dennis van der Heiden dan kenalan lain yang bernama Fahmi Ali Mubarok,
orang Bondowoso.
Karena asap yang mengepul tidak karu – karuan, rasa takut
mulai menjalari kaki kami. Segera kami bergegas naik. Karena saking paniknya,
saya pun berlari duluan meninggalkan mereka di dasar kawah. :D
Kebetulan teman saya, Boboy Andika tidak berani turun ke
dasar kawah. Saya pun mencari – cari beliau di puncak, namun tidak ketemu. Saya
pun menyusuri puncak Ijen sampai dengan sampai ke sebuah Pos Pemantauan yang
dibuat bekerja sama dengan salah satu universitas dari Brussel, Belgia.
Hari pun perlahan – lahan mulai terang. Tampak dari kejauhan matahari mulai menampakkan dirinya
yang mulanya malu – malu mengitip dibalik awan yang memutih. Keperkasaan Gunung
Marapi sebagai saudara laki – laki nya Gunung Ijen yang cantik menambah suasana
romantis yang muncul di pagi tersebut. Selat Bali pun terlihat dari sini.
Saya pun kembali ke bawah. Ditengah perjalanan saya bertemu dengan spot – spot bagus. Dan berfoto dengan salah seorang turis dari Jepang. Di sepanjang jalan turun ke bawah saya mendapati banyak turis yang baru mulai mendaki ke Puncak Ijen. Sesampai di Pos pengamatan bawah, saya pun membeli oleh – oleh berupa belerang ukir. Dan akhirnya saya bertemu kembali dengan Boboy Andika Harahap di Penginapan Pal Tuding.
Ketika hendak mau pulang ke Bondowoso, kami bertemu dengan
mas bro Fahmi Ali Mubarok dan Dennis yang berkebetulan membawa mobil pick up. Kami
pun menumpang ikut. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah air terjun. Airnya berwarna
hijau dan sangat asam. Kalau ada luka sedikit, maka terasa sangat perih kalau
terkena kulit. Air sungai tersebut telah bercampur dengan limpahan air kawah
Gunung Ijen.
Setelah tiba di Bawean, kami pun berhenti lagi. Terdapat air
terjun yang bersembunyi dibalik bukit dan dan jurang. Uniknya bisa dinikmati
melalui celah yang terdapat di antara bukit – bukit yang terdapat di daerah
tersebut. Sehabis menikmati panorama air
terjun, kami pun melepas lelah di sebuah pemandian air panas.
Setelah mandi air panas, kami pun bergegas pulang dan mampir
sebentar di salah satu pabrik kopi dan membeli kopi luwak yang original buat si
bule Dennis. Lelucon yang keluar dari mulut si bule adalah kopi luwak
disebutnya sebagai “SHIT COFFEE” karena memang keluar dari pa*tatnya si luwak.
:D
Dan akhirnya sampai di Bondowoso. Setelah beramah tamah
sebentar, Saya dan Boboy pun kembali ke Surabaya. jalur lain menuju Kawah Ijen adalah melalui Surabaya - Banyuwangi - Licin - Pal tuding. Kalau sampai di Bondowoso atau Banyuwangi tidak kesorean, maka bisa menumpang truk pengangkut sayur dan berhenti di Paltuding atau dilanjutkan dengan ojeg. Thanks to Fahmi Ali Mubarok atas tumpangan dan jamuan makan siang di Bondowoso dan adek - adek di Alkamil Jawa divisi Surabaya