Di Daerah Tapanuli Bahagian Selatan, yang terdiri dari
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kota Padangsidimpuan,
Kabupaten Padang Lawas Utara , Kabupaten Padang Lawas dan di sebahagian dari
Kabupaten Tapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara memiliki kebudayaan Lubuk
Larangan. Lubuk dalam bahasa batak berarti Sungai. Dan defenisi Lubuk Larangan
adalah sungai pada bahagian tertentu yang sudah disebar bibit ikan dan atau
memang ada jenis ikan khas tertentu yang hanya boleh diambil setelah waktu yang
telah ditentukan. Seandainya ada orang yang ketahuan mengambil ikan tersebut di
luar waktu yang telah ditentukan, maka denda yang angkanya mencapai jutaan akan
dikenakan, dan denda tersebut akan masuk ke kas desa tersebut. Cara pengambilan
ikan tersebut ada bermacam-macam, sesuai dengan aturan yang ditetapkan dari
awal seperti memancing, menjala, atau cara lainnya. Ketika sudah mau ,mencapai
hari –H, panitia “Membuka Lubuk Larangan” akan menyebar selebaran melalui mulut
ke mulut, koran, leaflet, maupun radio (kalau acaranya besar-besaran) sebagai
pemberitahuan ke masyarakat luas dan menjadi keuntungan tersendiri bagi panitia
kalau pesertanya banyak. Untuk satu alat
akan dikenakan satu tiket dan ketika tiket didapatkan maka pantia akan
memberikan tanda khusus berupa kaos atau tanda lainnya utuk masing-masing
peserta.
Pada tanggal 11-08-2013 sehabis lebaran Idul Fitri, saya,
bapak dan beberapa saudara saya pergi mengikuti acara “Membuka Lubuk Larangan”
di Sungai Batang Angkola tepatnya di desa Aek Silaiya, Kecamatan Sayur
Matinggi, Kabupaten Tapanuli Selatan. Aturan yang ditetapkan adalah dengan cara
menjala. Untuk mencapai lokasi, berjarak 45 km dari rumah saya (red-Padang
Sidempuan), dan kami pun berangkat ketika hari masi gelap.
Sesampainya di desa tersebut, kami pun menyaksikan sudah
banyak masyarakat yang dating berduyun-duyun ingin menyaksikan acara tersebut. Ada
yang hanya sekedar melihat, mebuka lapak jualan, melihat saudaranya yang ikut
langsung pada acara dan khususnya tim peserta yang terjun langsung pada acara
tersebut.
Sebelum acara tersebut dimulai, saya pun mendapati sebuah
laba-laba menghampiri celana saya. Dan seketika muncul ide untuk membuat foto
makro, yang berkebetulan saya sedang membawa converter wide-macro. Itung-itung
buat belajar pikirku.
Tepat pukul 08.00, aba-aba dari pantia pun mulai dilakukan
dan dalam hitungan satu dua dan tiga, wus………tiba-tiba jala yang dipunyai
masing-masing peserta bertebangan layaknya jaring laba-laba dari sang spidermen
(lebay.com) diiringi suara letusan petasan. Dan masing-masing peserta pun mulai
berjuang. Ada peserta yang memakai tim dan ada pula yang bermain solo. Tipikal
Sungai Batang Angkola di desa Aek Silaiya ini adalah berbatu-batu besar dan
mempunyai aliran sungai yang lumayan deras. Sehingga seringkali terlihat
peserta harus menyelam melawan derasnya arus sungai. Seringkali juga jala yang
dipakai sangkut di bebatuan, sehingga perlu kehati-hatian yang ekstra dalam
menjala ikan.
Panjang badan sungai yang dipakai untuk acara ini mencapai setengah kilometer, sehingga mata ini tak henti-hentinya takjub melihat acara yang pesertanya begitu bersemangat. Dan tak lama kemudian, masing-masing peserta mulai mendapatkan tangkapan masing-masing. Ada yang langsung mendapatkan ikan yang besar, ada pula yang mendapatkan ikan kecil. Lebih parahnya lagi, ada yang mendapatkan tangkapan besar berupa ranting pohon yang tersangkut di jalanya, :D
Ciri khas ikan di sungai ini adalah jenis ikan mera, atau di tempat lain disebut ikan jurung-jurung. Di beberapa daerah di Pulau Sumatera seringkali mendapatkan ikan ini sebagai ikan keramat. Seperti di sebuah kolam ikan di daerah Baso, Kabupaten Agam, Propinsi Sumatera Barat mengisahkan adanya Perkawinan antara jin dan manusia yang melahirkan 2 anak berupa ikan mera. Satunya terlihat dan satunya lagi tidak terlihat, hanya dapat dilihat oleh orang tertentu dan pada waktu tertentu saja. Belum lagi di daerah Danau Siais, terdapat ikan mera yang memenuhi seluruh isi sungai. Karena dianggap keramat, tidak ada masyarakat yang berani memakan ikan tersebut, karena sudah ada beberapa orang yang meninggal disebabkan memakan ikan tersebut. Namun lain halnya jika di sungai biasa, ikan ini merupakan ikan favorit bagi para pecinta kuliner ikan air tawar karena rasanya yang legit seperti ikan mas dan dagingnya yang manis.
Namun ada ikan tertentu, yang oleh masyarakat disini tidak dimakan. Namanya ikan sapu-sapu, atau lebih dikenal dengan nama ikan indosiar, karena memang bentuk fisiknya mirip dengan ikan yang menjadi ikon dari salah satu tv swasta nasional tersebut. Hal ini dikarenakan kulitnya yang keras seperti batu, dan dagingnya yang sangat sedikit. Kalau tidak salah, di daerah Jakarta Utara, ikan ini dijadikan salah satu bahan baku dari siomay ikan. Sesuai dengan hukum alam, selama ikan yang layak dimakan masih banyak, maka ikan yang seperti ini akan dibuang begitu saja, he he.
Saya pun bosan berada di tempat saya berpijak, seketika saya pun berjalan-jalan melihat para penjala ke tempat lebih jauh, ternyata ada penjala yang mendapatkan udang lobster hitam bercapit merah sebagai tangkapannya. Dan ada pula yang begitu semangatnya menjala, tapi tiba-tiba semua tangkapannya lepas karena tutup dari penyimpan ikannya lepas. Sehingga saya pun terpikir, seperti itulah kalau tidak rezeki atau tidak jodoh, sudah dekat di mata bahkan sudah dipegang tapi memang bukan rezeki. Sehingga kita harus sadar, bahwa ada Tuhan yang Maha Memiliki segalanya.
Dan menjelang tengah hari, masing-masing peserta pun mulai selesai dengan tangkapannya. Dan kami pun juga memutuskan untuk menyelesaikan tangkapan kami sambil memakan lontong dan kopi di salah satu lapak penjual makanan di badan sungai. Tampak di sana sini beberapa masyarakat mengadakan tawar menawar dengan para penjala yang mendapatkan hasil yang lumayan. Dan akhirnya kami pun pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar