Selasa, 24 September 2013

Kawah Ijen dengan Api Birunya

Di dunia Internasional, kawah ijen sudah tidak asing lagi namanya. Diliput oleh Channel National Geograpic. Dan menjadi bahan pembicaraan oleh khalayak ramai  karena merupakan danau vulkanik air asam terbesar di dunia dan buruh pekerja tambah belerangnya yang heroik. Namun bagi saya, seorang warga Indonesia yang berasal dari Ujung Utara Barat Indonesia belum pernah melihat langsung keunikan kawah tersebut kecuali dari gambar di internet maupun liputan Channel asing tersebut. Terletak diantara pegunungan di ujung timur pulau jawa, Gunung Ijien berdiri dengan megah. Tampak saudara lelakinya (dalam istilahku), Gunung Marapi yang senantiasa setia berdiri dengan gagah di sampingnya tanpa kenal lelah dan tampak pula Gunung Raung agak jauh diseberang dengan Puncak sejatinya.

Berawal dari gagalnya pendakian Gunung Semeru gara-gara kurang administrasi, saya dan teman saya, Boboy Andika Harahap pun banting setir menyusuri sisi indah ujung timur pulau jawa tersebut (02 Juni 2012). Dari Probolinggo (Jalur menuju ke Bromo-Semeru) kami berangkat menuju kota Bondowoso. Sedikit menyimpang, mengingat Bondowoso saya teringat akan nama Bandung Bondowoso penyebab adanya bangunan indah bernama Candi Prambanan. Ha ha ha. Lanjut ke topik pembicaraan.


Sesampai di Bondowoso, ternyata hari sudah sore. Dan kendaraan menuju Pal Tuding pun sudah tidak ada. Kebetulan kami melihat dua orang bule, dan saya menduga mereka punya tujuan yang sama dengan kami. Sestelah berbincang – bincang, kami pun memutuskan untuk menyewa mobil untuk mencapai Pal Tuding. Ternyata mereka dari Perancis, yang sedang berlibur ke Indonesia. Setelah mengobrol – ngobrol, ternyata mereka bekerja sebagai manajer musik yang sedang mengadakan tur dunia.


Tujuan mereka adalah Arabica Homestay, penginapan diantara hamparan perkebunan kopi Arabica di Sempol, dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Pal Tuding kira-kira 40 menit dari Sempol. Pal Tuding merupakan gerbang menuju Kawah Ijen. Terdapat warung makan dan penginapan disini, milik warga keturunan Madura. Kami pun melepas rasa rasa lapar dan memilih beristirahat di penginapan (sewa kamar Rp 100.000,-) supaya tubuh fit. Sementara bagi yang memilih tidur di tenda atau pendopo, silahkan saja, asal membawa slepping bag untuk persiapan menantang dinginnya cuaca di daerah tersebut.

Jam 2 malam kami pun sudah bersiap – siap mendaki Gunung Ijen. Waktu tempuh adalah 2 s.d. 3 jam perjalanan. Keberuntungan pun memihak. Langit yang cerah ditemani oleh bulan purnama penuh mengiringi pendakian kali ini. Sesekali para penambang belerang berjalan dengan cepat melewati saya yang sudah mulai terengah – engah mulai kehabihan nafas. “Kuat sekali mereka…!!” diriku membatin. Dengan membawa 50 s.d. 100 kg belerang di pundak mereka untuk sekali angkut.  Dan sampailah kami di pos pengepulan belerang. Pos ini adalah pos untuk pengumpulan belerang sekaligus sebagai pos pemantauan terhadap Gunung Ijen yang memang sangat aktif. Jika Gunung Ijen sedang batuk, maka trek pendakian hanya boleh sampai disini saja.




Perjalanan pun dilanjutkan. Saya merasa sangat tersesat ketika hendak mendekati puncak. Perjalanan tanpa ujung pikirku. Karena asap gunung berapi yang menyengat berbau belerang menghampiri disepanjang jalan membuat diriku berpikir maju mundur. Sudah sampaikah atau masih jauh atau aku lah yang tersesat. Pandangan hanya berkisar kurang lebih 10 meter. Setelah sekian lama terasa, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Ijen. Disini kami bertemu dengan rombongan anak Banyuwangi yang sedang mendaki juga.


Hal yang membuat penasaran sehingga mau berangkat pagi – pagi buta ke Puncak Ijen adalah penampakan api biru yang keluar dari dasar kawah. Tampak dari kejauhan api biru tersebut begitu membara. Satu hal yang saya sesalkan adalah kelupaan membawa tripod, sehingga saya tidak bisa mengambil gambar long eksposur. Tapi saya tidak kehilangan akal. Untuk mengabadikan api biru tersebut, saya pun turun ke dasar kawah layaknya para penambang belerang ijen yang berita nya sudah mendunia itu. Dengan peralatan slayer dan senter saya ekstra hati – hati menuruni anak tangga yang sebagiannya sudah mulai hancur. Salah – salah turun, bisa mampus masuk ke jurang. Asap mengepul bak raksasa yang siap memangsa santapannya. Saya berdoa kalau saja asap Gunung Ijen yang berasal dari kawahnya tidak mengarah ke saya. Setelah berjuang menuruni anak tangga, saya pun sampai di dasar kawah. Hanya berjarak 5 meter dari api biru tersebut. Ternyata api biru tersebut tingginya mencapai puluhan meter. Hati saya bergetar melihatnya. Terkadang muncul asap yang begitu pekat. Seandainya saya tidak membawa slayer dari wol sebagai alat bantu penyaring udara pernapasan, maka saya bisa mati lemas disitu. Sungguh mengerikan sekaligus mendebarkan. Ketika mendapatkan momen yang bagus, saya pun mengambil gambar api biru tersebut. di dasar kawah saya bertemu dengan bule dari Belanda yang bernama Dennis van der Heiden dan kenalan lain yang bernama Fahmi Ali Mubarok, orang Bondowoso.






Karena asap yang mengepul tidak karu – karuan, rasa takut mulai menjalari kaki kami. Segera kami bergegas naik. Karena saking paniknya, saya pun berlari duluan meninggalkan mereka di dasar kawah. :D

Kebetulan teman saya, Boboy Andika tidak berani turun ke dasar kawah. Saya pun mencari – cari beliau di puncak, namun tidak ketemu. Saya pun menyusuri puncak Ijen sampai dengan sampai ke sebuah Pos Pemantauan yang dibuat bekerja sama dengan salah satu universitas dari Brussel, Belgia.



Hari pun perlahan – lahan mulai terang. Tampak dari  kejauhan matahari mulai menampakkan dirinya yang mulanya malu – malu mengitip dibalik awan yang memutih. Keperkasaan Gunung Marapi sebagai saudara laki – laki nya Gunung Ijen yang cantik menambah suasana romantis yang muncul di pagi tersebut. Selat Bali pun terlihat dari sini.



Saya pun kembali ke bawah. Ditengah perjalanan saya bertemu dengan spot – spot bagus. Dan berfoto dengan salah seorang turis dari Jepang. Di sepanjang jalan turun ke bawah saya mendapati banyak turis yang baru mulai mendaki ke Puncak Ijen. Sesampai di Pos pengamatan bawah, saya pun membeli  oleh – oleh berupa belerang ukir. Dan akhirnya saya bertemu kembali dengan Boboy Andika Harahap di Penginapan Pal Tuding.






Ketika hendak mau pulang ke Bondowoso, kami bertemu dengan mas bro Fahmi Ali Mubarok dan Dennis yang berkebetulan membawa mobil pick up. Kami pun menumpang ikut. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah air terjun. Airnya berwarna hijau dan sangat asam. Kalau ada luka sedikit, maka terasa sangat perih kalau terkena kulit. Air sungai tersebut telah bercampur dengan limpahan air kawah Gunung Ijen.



Setelah tiba di Bawean, kami pun berhenti lagi. Terdapat air terjun yang bersembunyi dibalik bukit dan dan jurang. Uniknya bisa dinikmati melalui celah yang terdapat di antara bukit – bukit yang terdapat di daerah tersebut. Sehabis  menikmati panorama air terjun, kami pun melepas lelah di sebuah pemandian air panas.
Setelah mandi air panas, kami pun bergegas pulang dan mampir sebentar di salah satu pabrik kopi dan membeli kopi luwak yang original buat si bule Dennis. Lelucon yang keluar dari mulut si bule adalah kopi luwak disebutnya sebagai “SHIT COFFEE” karena memang keluar dari pa*tatnya si luwak. :D



Dan akhirnya sampai di Bondowoso. Setelah beramah tamah sebentar, Saya dan Boboy pun kembali ke Surabaya. jalur lain menuju Kawah Ijen adalah melalui Surabaya - Banyuwangi - Licin - Pal tuding. Kalau sampai di Bondowoso atau Banyuwangi tidak kesorean, maka bisa menumpang truk pengangkut sayur dan berhenti di Paltuding atau dilanjutkan dengan ojeg. Thanks to Fahmi Ali Mubarok atas tumpangan dan jamuan makan siang di Bondowoso dan adek - adek di Alkamil Jawa divisi Surabaya




Senin, 16 September 2013

Pendakian Gunung Cikuray

Ketika menjalani diklat 2 bulan di Jakarta, Saya dan Bro Arga melakukan pendakian ke Gunung Cikuray, Kab. Garut, Propinsi Jawa Barat. Setelah melakukan persiapan yang matang, pada hari Sabtu pagi, tanggal 08 Oktober 2011 kami pun berangkat ke Terminal Lebak Bulus untuk menumpang Bus Primajasa Jurusan Garut dengan ongkos Rp. 50.000,-. Dan waktu tempuh Jakarta – Garut adalah kurang lebih 3 s.d. 4 jam.

Pukul 11.00 kami pun sampai di Terminal Garut. Setelah tanya – tanya disana sini, kami pun memperoleh informasi bahwa angkutan untuk menuju pos pendakian Cikuray ada di pasar belakang terminal. Kami pun memutuskan untuk makan siang dulu dan lanjut untuk mendapati angkutan tersebut. Waktu tempuh yang terpakai adalah kurang lebih 30 s.d 50 menit perjalanan ke Desa Sukatani, Kec. Citelu. Sesampai di simpang menuju Gunung Cikuray, perjalanan dilanjutkan dengan ojek. Setelah terjadi tawar menawar kami pun membayar ojeg per buahnya sekitar Rp. 30.000,-. Waktu tempuh menuju tower TVRI dan TV lainnya adalah 40 menit. Selama perjalanan kami melihat banyak petani yang bekerja untuk memetik dauh teh dengan gigihnya dibawah teriknya sinar mentari.












Pada pukul 12.30 kami pun sampai di Tower dan melanjutkan perjalanan dengan kaki menembus Gunung Cikuray yang sedang ditutupi oleh kabut tebal. Beruntung tidak turun hujan. Di kiri kanan dan sejauh mata memandang terdapat kebun teh membuat hati terasa teduh.


Tak lama setelah melakukan perjalanan, kami mendapati rombongan pendaki lainnya yang berjumlah 4 orang. Mereka berasal dari Jakarta. Kami pun sholat sejenak dan kembali melakukan perjalanan.








Lereng Gunung Cikuray ini selain ditanami dengan teh, oleh masyarakat ditanami juga dengan kubis atau kol. sesekali kami bertemu dengan para petani yang baru pulang dari ladang.












 Dan tak jarang kami mendapati serangga-serangga yang warnanya menarik disepanjang perjalanan.






Jalur pendakian gunung Cikuray tidak memiliki pos – pos persinggahan layaknya kebanyakan gunung yang ramai didaki.






Namun pada bagian – bagian tertentu sudah ada bagian yang landai sehingga bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Karena sudah terasa lelah, kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda kira – kira 40 menit perjalanan ke puncak pada Pukul 18.30. Beruntung cuaca pada saat itu sangat cerah dan suhu pun tidak terlalu dingin (walaupun sempat menggigil). Setelah makan dan sholat, malam pun digunakan untuk istirahat sebaik – baiknya.

Keesokan harinya pada tanggal 09 Oktober 2011, pada pagi – pagi buta kami pun melanjutkan perjalanan ke puncak dengan bekal secukupnya. Barang – barang yang berat ditinggalkan bersama tenda. Ketika sudah mendapati puncak, hati terasa sangat senang. Rasa lelah ketika mendaki terlupakan sudah. Puncak Gunung Cikuray yang tingginya 2.818 mdpl terdaki sudah. Tampak Gunung Papandayan dan Gunung Guntur berdiri megah diantara lautan awan yang memutih. Di puncak gunung cikuray terdapat sebuah pondokan dari semen yang digunakan para pendaki sebagai tempat peristirahatan jika tidak membawa tenda. Sayangnya, karena langit agak berawan, pemandangan matahari terbit tidak terlalu jelas kelihatan.Disini tidak terdapat Bunga Edelweis, akan tetapi terdapat tanaman akar jenggot yang tumbung malang melintang diantara pohon - pohon.











Setelah puas berada di puncak, kami pun bergegas turun ke tenda dimana kami meninggalkan barang – barang lainnya.



Setelah packing selesai, kami pun mulai turun. Karena treknya lumayan enak, kami pun sesekali berlari menuruni lereng gunung. Sehingga kami bisa sampai di Tower TV pada pukul 12.00. Sebagai catatan waktu estimasi naik, normalnya  adalah 8 s.d. 10 jam dan turun normalnya adalah 4 s.d. 5 jam. Dan pada  waktu mendaki, jangan lupa menyimpan no Hp dari tukang ojeg, karena ketika sudah turun kembali ke bawah, tidak ada tukang ojeg yang stand by disana.








Setelah turun dari Gunung Cikuray, kami mencari masjid. Kami pun menemukan Masjid Raya Al-Mubarok di desa Sukatani, Kec. Citelu dan sekaligus menumpang mandi.


Setelah mandi dan sholat, tubuh kembali terasa segar. Kami pun melanjutkan perjalanan menyusuri kota Garut yang terkenal dengan Dodol Garut dan Mojang Garut yang aduhai. Destinasi pertama yang ingin saya saksikan adalah pesona Domba atau Kambing Garut yang tampilannya merupakan perwujudan dari Horoskop Aries. Kambing Garut bisa bernilai sampai ratusan juta rupiah. Apalagi kalau kambing jawara, hasil seleksi adu kambing yang kerap dilaksanakan masyrakat setempat. Namun untuk menyaksikan Kambing Garut cukup mendatangi alun - alun kota Garut. Disana terdapat delman mini yang ditarik oleh Kambing Garut. Penumpang pun mini juga, yaitu anak - anak kecil. Sambing memandangi kambing - kambing tersebut berlatarkan Masjid Agung Garut, kami membeli mie ayam sekaligus menjadi menu santap siang.



Selepas santap siang, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, menyusuri kota Garut yang damai dan Indah, sebelum kami pulang kembali ke Jakarta.