Pada tanggal 15 November 2012 atas permintaan teman saya
(in-relationship), Eka Rizkina Rambe yang pada saat itu masih kuliah di
Universitas Syiah Kuala saya pun menjejakkan kaki di Bumi Rencong, Provinsi
Banda Aceh. Menumpang Pesawat Garuda yang kebetulan promo dan memang jadwal
pesawat tersebut yang berangkat paling awal dari semua penerbangan Medan –
Banda Aceh. Selama perjalanan naik pesawat Medan – Banda Aceh, mata saya tidak
henti-hentinya memandang takjub ke bawah. Hamparan Pegunungan Leuser yang amat
panjang. Dengan puncaknya yang konon selalu tertutup oleh kabut dan awan.
Bahkan tak sembarang orang yang bisa kesana, karena membutuhkankan fisik yang
ekstra karena harus sanggup menempuh perjalanan paling tidak selama 2 minggu
perjalanan. Kemudian tampak pula pusat kebudayaan Tanah Gayo, yaitu Danau Laut
Tawar. Dalam hati terlintas untuk sekalian pergi kesana setelah sampai di Banda
Aceh, namun karena waktu yang tidak mencukupi tidak mungkin menjejakkan kaki disana
pada perjalanan ini. Dan tak terasa Gunung Seulawah yang megah dan masyhur
(nama pesawat RI pertama), sebagai tanda pesawat akan mendarat di Bandara
Internasional Sutan Iskandar Muda, Kab. Aceh Besar. Kebetulan, ketika di bandara, saya bertemu dengan teman ketika yang bernama Patuan Handaka Pulungan yang juga sedang berlibur.
Setelah
mendarat dengan selamat, saya pun
berpose sejenak dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat kos teman
saya di daerah Darusslam, Syiah Kuala. Sesuai dengan rencana, kami pun langsung
berangkat ke kota Sabang pada siang itu juga karena kapal terakhir berangkat
pada pukul 14.00 WIB. Di tengah perjalanan kami melewati Masjid Baitur Rahman,
salah satu masjid tercantik di Indonesia yang akan saya kunjungi di akhir
perjalanan saya ini.
Sesampai
di Pelabuhan Ulee Lheu, saya dan eka bertemu dengan 3 orang lagi dan sama-sama
menyeberang ke kota Sabang. Kebetulan karena akhir pekan dan ada libur nasional
pada hari Kamis tanggal 15 November 2012, pelabuhan Ulee Lheu di penuhi banyak
wisatawan yang juga akan berlibur. Kami pun kehabisan tiket karena kapasitas
kapal penyeberangan yang terbatas. Tapi beruntung pihak pelabuhan menyediakan
kapal tambahan. Supaya tidak lama, kami pun memilih kapal cepat. Sebagai
informasi, kalau pakai kapal cepat waktu tempuh adalah 45 menit dan menepi di
pelabuhan Balohan. Sedangkan memakai kapal lambat akan memakan waktu tempuh 2
jam lebih dan menepi di pelabuhan kota Sabang (ongkos transportasi laut dapat
dilihat di situs resmi Pengelola Pelabuhan Ulee Lheu).
Dan
ketika mentari hampir mencapai horizon barat, kami pun menjejakkan kaki di
pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Selanjutnya kami berkendaraan darat kurang lebih 50
menit menuju kota Sabang dengan ongkos Rp 20.000,- per orang. Di tengah
perjalanan kami disuguhi pemandangan Danau Aneuk Laot. Sesampai di kota Sabang,
kami langsung mencari penginapan. Benar saja, karena kami datang belakangan
penginapan di pusat kota sudah penuh. Untung saja supir yang mengantar kami
tahu ada penginapan lain agak jauh dari pusat kota, yaitu di Tapak Gajah,
Penginapan Bapak Iskandar. Disini, harga sewa kamarnya bervariatif, dari Rp.
150.000,- s.d. Rp. 250.000,- per malam. Walaupun agak jauh dari pusat kota,
penginapan Bapak Iskandar menyuguhkan pemandangan laut yang luar biasa karena
lokasinya sudah termasuk tinggi untuk kawasan tersebut. Kapal – kapal tanker minyak
yang bodinya super besar tampak lalu lalang dari kejauhan. Karena daerah tersebut
merupakan jalur lintas laut Internasional, Selat Malaka dan Laut Andaman.
Pada
keesokan harinya tanggal 16 November 2012, kami pun berangkat dengan mobil yang
sudah dicharter. Sewa mobil perhari adalah
Rp 400.000,- sudah termasuk supir dan BBM. Opsi lain jika hanya ingin
lebih simple, maka bisa menyewa sepeda motor dengan harga sewa Rp 100.000,- per
hari. Objek wisata pertama yang dituju adalah Pantai Sumur Tiga yang terletak
di sebelah Timur Laut Pulau Weh. Dari sini merupakan spot terbaik jika ingin
menikmati suasana matahari terbit.
Selepas sarapan pagi, kami pun melanjutkan sekitar
40 menit perjalanan ke Benteng Belanda yang terletak sisi timur Pulau Weh.
Benteng ini merupakan peninggalan Perang Dunia ke-2. Beruntung cuaca yang cukup
cerah, sehingga pemandangan laut yang begitu jernih dapat kami saksikan
ditambah dengan kerasnya batu – batu karang mengingatkan kami akan suasana
benteng pada saat terjadinya Perang Dunia ke-2. Disini masih terdapat sebuah
meriam yang sangat panjang sebagai tameng tepat dipuncak sebuah bukit
pengintaian di benteng tersebut. Satu kata yang terucap untuk pemandangan di
setikar benteng, “Luar Biasa” atau kalau orang Islam akan menyebut
“Subhanallah”. Air yang membiru dan menghijau, bening dan bersih.
Sesudah puas menikmati suasana Benteng kami pun beristirahat sejenak di sebuah view, yang bernama Sabang Hill, lokasi tertinggi di kota Sabang. Sambil menunggu si Supir yang sedang melaksanakan Sholat Jumat.
Selepas makan siang, perjalanan kami lanjutkan ke Tugu Km Nol, titik paling barat dari NKRI. Karena cuaca yang cukup terik, kami pun mulai tertidur dalam perjalanan. Jarak tempuhya cukup jauh, yaitu kurang lebih 22,5 Km dengan jalan menanjak dan berkelok – kelok. Sebagai catatan, ada beberapa titik jalan yang sangat sempit, hanya bisa dilalui oleh satu mobil. Hal ini disebabkan topografi Pulau Weh yang bergunung – gunung dan banyak jurang. Dan sekitar pukul 13.30 WIB kami pun sampai di tugu Km Nol. Pemandangan disini sangat bagus. Berada di tebing yang sangat curam, mengingatkan saya akan pemandangan di Uluwatu, Pulau Bali. Namun sayangnya, coret – coret para seniman tidak berkelas menghiasi Tugu Km Nol. Mengecewakan sekali, dan sebagai orang Indonesia saya malu akan hal ini. Karena wisatawan yang datang ke Pulau malah banyak orang asing.
Ada
hal unik yang lain yang terdapat di sekitar Tugu Km Nol ini. Terdapat babi
hutan yang begitu akrab dengan manusia, apalagi yang mau member makan si babi.
Selepas dari Tugu Km Nol, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Iboih. Pantai yang terkenal dengan wisata bawah lautnya. Dan termasuk terbaik di Indonesia. Dan salah satu spot snorkeling dan divingnya adalah dengan menyeberang ke Pulau Rubiah. Memakai kapal nelayan sekitar 15 menit perjalanan. Jasa penyeberangan ke Pulau Rubiah ada dua macam. Pertama dengan kapal biasa, hanya dengan Rp. 20.000,- orang. Kedua dengan kapal dengan lapisan kaca di tengah kapal, dengan sewa Rp. 300.000,- per kapal. Say a pun memilih kapal kedua, karena bisa menikmati dunia bawah laut daerah ini tanpa harus diving. Benar saja, luar biasa sekali. Tidak rugi memilih kapal ini. Ikan – ikan yang berwarna warni, karang – karang yang sangat cantik, bintang laut besar berwarna biru menyala, ikan duyung, ikan singa, dan banyak yang lainnya. Kata pepatah, ke Pulau Weh tidak cukup sekali, harus dua kali. Saya pun merasakan sensasi itu.
Akhirnya
kami sampai di Pulau Rubiah, kami pun mencari spot untuk snorkeling. Wisatawan
asing banyak terlihat disini. Dan tak terasa, hari pun mulai gelap. Kami pun
bergegas kembali untuk meninggalkan Pulau Rubiah. Sesampai kembali di Pantai
Iboih, kami pun mengganti pakaian. Sayangnya, fasilitas pemandian sangat minim
sehingga air tawar untuk mandi tidak tersedia. Mungkin perlu pembenahan dari
pemerintah, supaya fasilitas yang seperti ini lebih ditingkatkan lagi.
Sesampai di kota Sabang, kami pun mampir di pusat kota untuk
membeli oleh – oleh khas Sabang. Dan setelah itu makan malam dan kembali ke
penginapan.
Pada
besok harinya tanggal 17 November 2012, kami pun bersiap pagi-pagi buta, karena
kapal lambat untuk penyeberangan ke Pelabuhan Ulee Lheu , Banda Aceh berangkat
pada pukul 06.30 WIB. Matahari pagi pun menyambut keberangkatan kami. Selepas
kapal berangkat, kami menikmati pemandangan di luar. Dan setelah agak lama,
mata terasa ngantuk. Dan saya pun tertidur.
Akhirnya Pelabuhan Ulee Lheu kami jejakkan kembali. Kami pun
kembali ke kos teman. Karena laki – laki tidak boleh menginap di kosan cewek,
maka saya pun menginap di tempat teman laki – laki yang kebetulan ikut dalam
perjalanan ke Sabang yaitu bro Mahdi.
Selepas sholat dzuhur, kami
pun pergi ke Masjid Raya Baiturrahman.
Sebuah masjid yang indah dipenuhi dengan ornament bergaya China, Arab dan Aceh.
Sebagai bukti dulunya, Banda Aceh pernah menjadi pusat perdagangan
internasional.
Selanjutnya
kami pun pergi ke Museum PLTD Apung. Kenapa namanya PLTD Apung??? Dulunya, PLTD
Apung ini adalah PLTD yang dibuat untuk memasok listrik di kota Banda Aceh,
namun, gelombang dahsyat Tunami menyeret Kapal PLTD yang sangat besar ini ke
daratan yang jauhnya sekitar 3 Km dari laut.
Lalu kami pergi ke sebuah taman di
pinggiran sungai yang membelah kota Banda Aceh “Bagus sekali kota ini!!”
pikirku. Pemerintah kota Jakarta dan seluruh Indonesia perlu mencontoh konsep
kota Banda Aceh ini. Karena hampir di setiap sudut kota terdapat taman – taman
yang amat menyejukkan mata.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke daerah Lhok Nga. Sekitar 30 km dari kota Banda Aceh. Daerah ini merupakan daerah terparah akibat bencana Tsunami dahsyat yang melanda Aceh dan beberapa Negara di sekitar Laut Andaman. Sehingga didirikan Tugu Tsunami yang begitu megah di daerah ini karena dahsyatnya gelombang Tsunami tersebut. Kenapa saya memilih Lhok Nga?? Kalau dilihat dari peta, Lhok Nga merupakan ujung utara dari pulau Sumatera dan merupakan spot yang bagus untuk mengabadikan sunset. Pantai yang bersih dan menyejukkan mata menemani sore itu. Namun sayangnya cuaca sangat berawan di ufuk barat sehingga penampakan sunset yang ditelan oleh lautan tidak tampak. :D
Pada
keesokan harinya tanggal 18 November 2012, saya dan Eka pergi ke Pantai Aloe Naga yang berlatarkan Pulau Weh. Sebuah pantai di Timur Laut Kota Banda Aceh. Sebuah pantai muara yang
direklamasi, sebagai pemecah gelombang jika terjadi kembali Tsunami. Disini
terdapat anjungan yang menjadi tempat memancing yang menyenangkan.
Selepas
dari pantai tersebut, kami pun pergi
berbelanja oleh – oleh khas Banda Aceh. Dan akhirnya Pesawat Lion Air
menerbangkan saya kembali menuju Medan. Thank's to Eka Rizkina Rambe, Rosilah Nst, Mahdi dan lain - lain, :)