Rabu, 07 Agustus 2013

Pendakian Gunung Gede


Ini adalah pengalaman pertama saya dalam hal mendaki gunung secara resmi. Ketika masih kuliah tingkat II di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, pada tahun 2009 grup Mapala yang bernama Stapala mengadakan acara pendakian massal di kalangan mahasiswa. Sudah sejak lama saya penasaran bagaimana sich berada di puncak gunung, bagaimana suasana ketika mendaki, dan apakah saya sanggup ketika mendaki. Dan pada akhirnya saya pun mendaftarkan diri sebagai peserta pendakian umum. Pendakian diadakan dari tanggal 23-25 Desember 2009. Ini adalah pengalaman yang menginspirasi saya untuk akan terus mencintai petualangan mendaki gunung.



Pada tanggal 23 Desember 2009 malam, sesuai dengan jadwal kami pun diberangkatkan oleh panitia pelaksana setelah dibriefing beberapa saat. Transportasi yang kami gunakan adalah truk tentara. Sungguh asyik pikirku, berkenalan dengan teman baru dan bisa langsung akrab karena telah punya hobi baru yang sama, naik gunung.

Tempat yang kami tuju adalah desa terakhir dengan jalur gunung putri. Saya sendiri tidak tahu persis apa nama desa tersebut. Kira-kira jam 10 malam kami pun sampai  di desa tersebut, dan mengambil spot perkemahan yang mungkin sudah disediakan oleh masyarakat setempat stelah melalui beberapa pematang sawah dan ladang. Tenda-tenda pun didirikan dan akhirnya kami beristirahat untuk mengumpulkan tenaga buat besok hari yang melelahkan.


Pada tanggal 24 Desember 2009 kami pun terbangun, bagi yang muslim melaksanakan sholat subuh. Setelah itu acara sarapan pagi, poto-poto sebelum berangkat, dan yang paling penting, bagi yang ingin buang hajat supaya menyegerakannya. Karena Cuma di tempat inilah terdapat WC yang dianggap layak oleh orang yang sudah biasa di peradaban modern di sepanjang jalur pendakian nantinya. Saya pun masi ingat, jam keberangkatan kami pada waktu itu adalah 07.30 WIB. Dan akhirnya setiap grup dilepas dengan penunjuk jalan masing-masing yang disediakan oleh panitia.



Pada awalnya saya bertanya-tanya kenapa jalur Gunung Putri yang dipilih untuk mendaki, dan akhirnya saya sadari jalur Gunung Putri adalah jalur pendakian terbaik untuk sebagai pemula. Karena treknya yang lebih pendek, lumayan landai, kering dan tidak bayak cabang. Kalau tidak salah, rute ini memiliki pos yang berjumlah enam. Sepanjang perjalanan ke pos 5 tidak banyak yang khas di jalur ini kecuali satu yaitu telaga biru. Itu pun letaknya saya sudah lupa dimana persisnya. Dan tengah perjalanan kami bertemu dengan rombongan tentara Kodam Siliwangi IX yang mengadakan latihan fisik dengan rute sampai ke puncak, lalu turun lagi pada hari itu. Hebat benar pikirku, mereka diberi oleh Allah SWT fisik yang begitu kuat. Dan saya sendiri syukur-syukur bisa sampai puncak tanpa kurang apapun. Ketika kami menikmati perjalanan, hujan pun turun. Masing-masing orang mengeluarkan jas hujan. Dan tepat pukul 12.00 WIB kami pun sampai di Alun-alun Suryakencana yang begitu masyhur. Tempat dimana Soe Hok Gie, pendiri kelompok pecinta alam pertama di Indonesia, sering menghabiskan waktu luangnya. Pertama kali dalam hidupku melihat hamparan bunga edelweiss yang begitu luas, sepanjang mata memandang. Ada yang berteriak, ada yang memuji Tuhan, dan ekspesi lainnya dari teman-teman satu grup. Berbagai pose pun kami lakukan, mengingat susahnya perjalanan yang kami tempuh.




Satu hal yang baru yang saya dapatkan adalah betapa di kawasan puncak gunung begitu cepat berubah. Pada awalnya kami sampai di Suryakencana dengan cuaca yang amat cerah. Namun perubahan drastis terjadi, 5 menit kemudian cuaca berubah menjadi sangat berkabut. Aneh, tapi saya sangat menikmatinya. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di Alun-alun Suryakencana terdapat kerajaan jin yang dipimpin oleh pangeran keturunan Prabu Siliwangi, sehingga ada bebarapa pantangan yang tidak boleh dilakukan disini. Dan akhirnya kami pun menyusuri padang edelweiss yang begitu luas menuju Pos VI. Tempat dimana kami mendirikan kemah, beristirahat, makan, dan aktivitas lainnya. Disini terdapat sumber air yang begitu jernih dan dingin deperti es. Tak lama kemudian hujan deras kembali mengguyur kami. Apa boleh buat, tenda yang sudah dipasang hanya satu-satunya tempat yang aman untuk berlindung hingga malam pun tiba.


Satu hal yang paling saya ingat adalah malam yang panjang dan begitu cepat datang dan malam yang sangat beku. Pelajaran yang saya ambil, kita tidak bisa melawan alam, tapi ikuti aturan. Maksudnya, ketika sudah tahu ada suhu yang dingin maka bawalah slepping bag. Parahnya, satupun diantara kami satu grup tidak ada yang membawa sleping bag. Walhasil kami menggigil kedingan sepanjang malam. Malam yang sangat panjang. Entah berapa kali saya terbangun, tetap saja jam begitu lama berputar. Sudah memakai 3 lapis kaos kaki dan kaos tangan, tetap saja serasa ada es batu yang menempel di kaki dan tangan saya.


Ketika pukul 04.00 WIB tanggal 25 Desember 2009, kami pun dibangunkan panitia untuk segera bersiap-siap kembali, melanjutkan perjalanan ke pucak Gunung Gede. Pukul 05.00 WIB kami pun mulai bergerak menuju ke puncak, dan waktu tempuhnya adalah 30 s.d. 60 menit perjalanan. Sesampai di Puncak, rasa letih kami pun terbayar, pemandangan yang luar biasa. Kami pun berpose sepuasnya. Dari puncak Gunung Gede jelas terlihat Puncak Gunung Pangrango yang terkenal dengan Alun-alun Mandalawanginya, sebuah kawasan yang mirip dengan Alun-alun Suryakencana. Tampak puncak Gunung Pangrango yang ditutupi oleh pohon-pohon yang lebat. Tidak seperti puncak Gunung Gede yang terdiri dari kawah yang sangat besat yang hanya ditumbuhi oleh beberapa tanaman perdu.












Setelah letih berpose, perut ini minta diisi, beruntung kami hanyalah peserta. Jadi, sarapan pagi sudah disediakan oleh panitia. Dan tak lama setelah itu, kami pun berpose bersama dan dilanjutkan perjalanan menuruni Gunung Gede melalui jalur Cibodas. Pada pukul 09.30 WIB kami pun mulai bergerak turun.
Di jalur Cibodas ini, banyak hal-hal yang unik yang akan dijumpai, mulai dari tanjakan setan, kandang badak (persimpangan ke Puncak Gunung Gede atau ke Gunung Pangrango), sungai air panas, beberapa air terjun yang menurut saya amat banyak jumlahnya, kawah mati, dan lain sebagainya.
Khusus tanjakan setan, dinamakan demikian Karena untuk mendaki atau menuruninya harus memakai tali tambang yang memang sudah terpasang disitu. Kalau tidak salah, tingginya hamper 15 meter dengan kemiringan hampir 85 derajat. Jadi, untuk menaiki atau menuruninya harus antrian.


Karena barang bawaan saya pada waktu naik terasa berat oleh makanan, kini sudah tersa ringan. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk berlari menuruni jalur Cibodas. Suatu hal yang agak saya sesali, efeknya saya merasakan pegal-pegal selama satu minggu bro, :D
Pada pukul 14.00 WIB kami sampai di kandang badak, karena masi ada roti maka kami putuskan untuk tidak makan berat. Menyursuri jalur cibodas ini memang enaknya ketika turun, karena kalau pas naik, energi sudah habis karena banyaknya spot-spot yang indah. Pada pukul 15.00 WIB kami pun melewati jalur yang dilewati oleh sungai air panas, sehingga di rute ini dibuat pengaman tali dari baja sebagai penuntun.




Pada pukul 16.00 WIB kami pun sampai di Air Terjun Cibereum. Sebelumya, saya sudah pernah mampir keair terjun ini pada tahun 2008. Air terjun yang berjumlah 4 buah di lokasi yang sama. Untuk menguragi rasa letih, kami pun mandi dan bagi yang muslim melaksanakan sholat. Sebagai catatan, Air Tejun Cibereum sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat pada akhir pekan. Dan jarak tempuh untuk mencapai air tejun ini adalah kurang lebih satu setengah jam dari pintu masuk jalur Cibodas. Cibodas merupakan kebun raya yang dibangun oleh pemerintah Inggris layaknya Kebun Raya Bogor. Dan sebagian wilayahnya merupakan cagar alam. Karena wilayah Gunung Gede termasuk daerah tangkapan air utama untuk sebagian wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat.




Dan akhirnya perjalanan pendakian Gunung Gede selesai pada pukul 19.00, kami pun menaiki truk tentara lagi dan kembali ke kampus STAN, Jurangmangu.
n/b: untuk mendaki Gunung Gede-Pangrango harus mengkonfirmasi dan mendaftarkan diri jauh-jauh hari minimal 7 hari sebelum mendaki. Dengan menyiapkan administrsi berupa fotokopi KTP dan membayar administrasi ke Pengelola Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP). Dan TNGP sering ditutup karena cuaca buruk dan pemeliharaan alam karena banyaknya pendaki yang mengunjungi kawasan ini setiap tahunnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar